Sunday, July 31, 2005

Alangkah Indahnya, Alangkah Damainya

Aku lahir dan besar di lingkungan yang sangat-sangat hangat. Sangat menyenangkan. Ayah yang tegas dan keras dalam ilmu agama. Disiplin. Berkarakter. Ayah yang sungguh-sungguh dalam mendidikku. Ayah yang sangat tidak suka meninggalkan keturunan yang lemah. Ayah yang segera bertindak keras ketika azan berkumandang dan aku masih bermalas-malas. Ayah yang selalu tahajjud tengah malam. Ayah yang selalu bangun lebih awal dari yang lain. Ayah yang selalu mengguyurku yang sedang terbuai dalam pelukan syetan selagi azan subuh sudah berkumandang. Ayah yang selalu bangga akan diriku. Ayah yang selalu menyebut namaku dalam setiap doanya. Ayah yang sangat sayang pada kelurga. Ayah yang selalu mengingatkan agar kami semua sekeluarga selalu rukun apapun yang terjadi.

Ibu yang pendiam. Ibu yang penuh senyum. Ibu yang aku merasa nyaman berada dalam pelukannya. Ibu yang aku merasa nyaman tertidur dalam pangkuannya sembari telingaku dibuai oleh ayat-ayat suci yang beliau lantunkan. Shalawat yang senantiasa beliau lafadzkan menjelang diriku tidur. Ayat-ayat suci yang beliau baca yang selalu membangunkan aku menjelang subuh. Ibu yang sederhana. Ibu yang mempunyai pandangan yang teduh. Meneduhkan hati kami semua. Ibu yang selalu berjamaah bersama Ayah dan kami semua.

Ayah sebagai imam. Kami semua menjadi makmum. Selesai sholat berjamaah yang menyenangkan. Ayah membaca tafsir, tarikh nabi, hadits dan menerangkan kepada kami semua. Tentang surat Al-Zalzalah. Tentang surat Al-Baqarah. Tentang surat Al-Falaq. Tentang sahabat nabi. Tentang ulama-ulama besar.Tentang indahnya Surga dan pedihnya azab neraka. Tentang azab kubur. Tentang ni’mat kubur. Sesekali aku dan adik-adik bertanya. Ayah menjawab dan ibu menambahkan.

A Father whom I know English. He was the first person, a partner in speaking English. He always ask anything in English. Especially when we got visitors in our little home. So that all of his friends call me Beny the English Boy. Early in the morning, he always tune our old radio into Australia or America. Listening Radio Australia and or Voice of America. My first English teacher.

Pagi-pagi sekali sehabis sholat subuh dan mengaji, pekerjaan bersih-bersih rumah sudah dimulai. Menyapu, menyiram taman, cuci piring, menimba untuk mengisi bak mandi, mencuci baju dan memasak. Semua dikerjakan bersama. Tidak ada pembantu. Setengah enam pagi mulai mandi untuk kemudian berangkat sekolah setelah sarapan.

Kami tinggal di pemukiman tradisional. Bukan di lingkungan perumahan. Hubungan antar tetangga begitu dekat dan hangat. Bukan hal aneh jika ada orang tersesat yang mencari rumah si Anu, maka dengan mudah bisa ditemukan bahkan diantar sampe depan rumah yang bersangkutan. Walaupun si Anu itu bertempat tinggal satu kilometer dari tempat dia bertanya.Si Anu yang kemaren baru dari kota x yang anaknya baru masuk sekolah tahun ini dan neneknya baru aja pulang. Lengkap. Sesuatu yang sekarang langka ditemui.

Menjelang maghrib, biasanya anak-anak kecil sudah pada ngumpul di musholla. Bersiap untuk mengaji. Ada juga yang sudah mulai mengaji dari ba’da sholat ashar. Musholla mulai ramai. Bercanda sesama teman. Bahkan kadang ketika sholat berjamaah udah dimulai pun bercandanya masih terbawa. Biasanya bercanda itu akan terhenti kalau ada satu orang dewasa yang ‘ditakuti’ udah muncul. Mulai lah sholat berjamaah menjadi sedikit lebih ‘khusuk’. Tak heran biasanya orang dewasa yang ‘ditakuti’ itu selalu datang belakangan sholat berjamaah.

Alangkah indahnya. Alangkah damainya.

1 comment:

Roy Baroes said...

ben... aku jadi rindu emak dan bapak di kampung nih..
aku jadi ingat betapa bandelnya aku dulu...
thanks bro, tulisannya begitu menggugah..